Selasa, 30 Desember 2014

Mencicipi Aroma Iman dari Kisah The Professor and The Madman (Karya Simon Winchester)

http://simonwinchester.com/books/the-professor-and-the-madman/
Kapan hari, entah tanggal berapa saya lupa. Seorang teman meminjami buku yang katanya bagus. Judulnya The Professor and The Madman (Kisah Pembuatan Oxford English Dictionary/ OED) karangan Simon Winchester. Saya yakin banyak diantara Anda yang pernah membaca kisah si leksikograf jenius dan orang gila itu. Ya, cerita menyentuh tersebut memang cukup tenar di bumi tercinta kita. Dan benar kata teman saya, buku yang berpenampilan jelek itu punya cerita bagus yang bikin kita harus bilang WOW..

Berhubung bukunya sudah sohor, maka saya tak bermaksud menuliskan kembali apa yang saya baca. Rasanya terlalu biasa (bahasa gaulnya mainstream) untuk sekedar meringkas kembali kisah apik itu. Namun bagi Anda yang belum pernah baca atau tidak tahu tentang dongeng Murray dan Minor ini, silakan tanya paman Google. Anda akan menemui segudang tautan yang mengantarkan Anda pada kisah bersejarah ini. Atau kalau belum terpuaskan, silakan beli bukunya.

***

Apa yang ingin saya utarakan dalam catatan ini adalah perihal keimanan atau kepercayaan. Mungkin Anda akan bertanya apa hubungannya dengan pembuatan kamus bahasa Inggris paling otoritatif itu. Jawabannya, (mungkin) tidak ada hubungannya. 

Sebentar, jangan dulu menyela saya. Perihal ini saya sampaikan karena Wichester sendiri dengan atau tanpa alasan, sempat menuliskan cerita beraroma keimanan dari kedua tokoh utamanya.

Yang Dr. (doktor) James A.H Murray asal Skotlandia punya kepercayaan Katolik saklek zaman Victoria. Sedangkan yang dr. (dokter) William C. Minor, berasal dari keluarga saleh penganut Protestan dan menjadi misionaris di Ceylon Amerika. Sekilas memang tak jauh beda, namun pada perkembangannya Minor menjadi pembelot agama dan ragu terhadap keberadaan Tuhan.

Minor yang dikata orang gila, karena mengidap skizofrenia (asosiasi miring terhadap kewarasan seseorang, berasal dari bahasa Yunani “pikiran yang terbelah” muncul pertama kali tahun 1912), mulai meninggalkan ajaran agamanya sejak kuliah di Yale University. Dan sejak bergabung dalam pasukan Union (kumpulan pasukan Amerika bentukan Presiden Lincoln dalam perang Wilderness 1964) dirinya meninggalkan kepercayaan sama sekali, lebih senang pula disebut sebagai atheis.

Mungkin bukan hal yang mencengangkan bila ateis jadi pilihan. Dalam perjalanan nalar Minor, dirinya juga sempat jadi pembaca setia karya-karya Thomas Henry Huxley (ahli Biologi dan Filsafat Inggris) yang mengenalkan agnostisisme. Maka tak mengherankan pula bila dia goyah terhadap keberadaan Yang Maha.

Lain halnya dengan Sir James Murray (dapat gelar kebangsawanan tahun 1908). Dia benar-benar sosok yang saat ini merupakan pengejawantahan dari orang alim. Bagaimana tidak? Dirinya bergabung dengan anggota Temperance League (perserikatan yang pantang minuman keras). Bahkan untuk mengakali stres yang melanda saat Maggie (istri pertama) sakit, Sir James lebih milih buat nulis igauan Maggie yang kadang mengucap dialek Scot kasar dari pada minum. Luar biasa kan?

Winchester bukanlah orang pertama dan satu-satunya penulis, yang menggubah sejarah pembuatan kamus OED menjadi sebuah cerita yang layak disimak. Dia mengatakan, ada karya lain yang telah menulis kisah pembuatan kamus paling berpengaruh di dunia tersebut. Namun demikian, saya pribadi menilai bahwa cara Winchester berseloroh mengenai dua tokoh itu sungguh manusiawi. Dengan tanpa menghilangkan unsur-unsur penghormatannya, Winchester berhasil menangkap hal-hal yang bertolak belakang (sebagai sifat alami kedua tokoh) namun sangat harmonis bila disandingkan.

Apa yang saya maksud dengan bertolak belakang adalah, bagaimana dua tokoh yang memiliki pandangan berbeda soal Tuhan, bisa duduk berdampingan dan membuat maha karya abadi. Bayangkan bila mereka (atau salah satunya) tiba-tiba mempersoalkan tentang Tuhan? Bisa-bisa OED hanya tinggal dongeng tanpa bekas.

Bagi saya, si penulis sangat cerdik dalam menghadirkan kisah intelektual dengan agama (kepercayaan) sebagai bumbu penyedapnya.

Tokoh Dr. James A.H. Murray sendiri kemudian menjadi inspirasiku. Dalam pembacaanku, dia seorang jenius yang masih menjaga kebijakan dan kesahajaannya. Sahaja untuk tetap berpikir bahwa intelektualitas bukanlah segalanya. Bagi saya pribadi, pemikiran macam ini berimbas pada sikap yang mengingatkan diri bahwa di atas langit masih ada langit.

Lebih dari itu, James juga mengingatkan diri saya untuk tidak menjadi ekstrimis konyol. Bahwa mempertahankan kepercayaan bukan berarti menganggap yang lain rendah. Dan dia-lah orang yang kemudian hari menjadi peziarah setia yang sering mengunjungi makam kawannya yang tak percaya Tuhan itu.

Semoga bermanfaat,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar