Jumat, 25 Mei 2012

Pendidikan Cepat Saji Ala Indonesia

http://www.freeimages.com/photo/1412145
Pernahkah kita bertanya, untuk apa sebenarnya kita menjalani pendidikan di sekolah? Saya kira sebagian besar orang akan menjawab pernah. Dan berbagai macam jawaban tentu mempunyai rasionalisasi yang dapat diterima, seperti mendapat ijazah, memperoleh pengetahuan, agar mendapat status yang lebih baik di masyarakat, dan masih banyak lagi alasan masuk akal lainnya. Namun demikian, diantara alasan-alasan luar biasa tersebut, pasti ada alasan yang terdengar bodoh dan tak memiliki spesifikasi masuk akal.

Seperti pengalaman saya bertanya kepada seorang teman SMA, tetangga rumah, ketika ditanya mengapa ia terlihat tak minat pada sekoahnya, jawabannya cukup membuat saya heran. Adalah hanya karena menuruti tuntutan orang tua, tak ada yang lain. Pemaparan saya di atas mengenai rangkaian pertanyaan beserta beberapa jawaban yang menjelaskan alasan seseorang harus “berpendidikan,” adalah sebuah paket pembuka yang saya tujukkan untuk saya sendiri dan mungkin bagi anda yang kebetulan mahasiswa jurusan kependidikan atau bahkan anda yang telah menggeluti profesi guru.


Setidaknya, paket ini dapat dijadikan sebagai suatu kejutan, agar kita sadar, bahwa kebanyakan masyarakat Indonesia begitu dangkal memaknai arti pendidikan bagi kehidupan. Ini menjadi masalah, manakala hasil dari proses pendidikan di sekolah hanya ditentukan oleh produk bernama ijazah, hingga seseorang dapat membeli produk tersebut hanya sekedar mendapat gelar “orang berpendidikan.” Mudah bukan? Menyoal tentang pendidikan, bisa kita telusuri melalui sistem-sistem yang ada. Hampir semua orang tahu, bahwa sistem pendidikan di Indonesia akan selalu berakhir pada pemberian ijazah sebagai suatu warisan penting.

Hal tersebut tak akan menjadi persoalan, manakala manusia yang tercetak melalui dunia pendidikan juga memilki kemampuan sesuai dengan cetakan angka di ijazah. Namun kenyataannya mnejadi ironis, ketika ijazah menjadi tujuan akhir seseorang menempuh pendidikan di sekolah, hingga melakukan hal-hal yang tak pantas hanya untuk mendapat nilai yang laku di pasaran. Sekilas, memang tak ada yang salah dengan ironi tersebut. Sah-sah saja seseorang hanya mengharap ijazah dari dunia pendidikan. Akan tetapi, imbas yang dihasilkan sungguh mengerikan, seperti adanya kasus-kasus kebocoran soal ujian nasional di Bengkulu Selatan tahun2009 dengan tersangka utamanya, tak main-main,melibatkan 16 orang, yakni 10 kepala sekolah SMA Negeri, empat kepala sekolah swasta, satu kepala sekolah Madrasah Aliyah Negeri dan seorang kabid Dikmenum Diknas setempat.

Motifnya pun sebenarnya sangat mengharukan, ingin meluluskan semua muridnya tanpa kecuali agar bisa mengangkat harkat dan martabat sekolah, serta provinsi tercinta. Bila kita menelisik lebih dalam, kira-kira siapa yang patut untuk disalahkan? Apakah siswa dan pihak sekolah yang tak bertanggungjawab? Atau oknum dari Diknas yang tak tahu diri itu? Saya kira, bukan mereka. Baik siswa, sekolah serta pihak dari dinas pendidikan, hanyalah korban dari adanya sistem pendidikan yang sudah salah sedari dulu. Semenjak duduk di bangku SD , kita telah disugesti bahwa anak yang pintar adalah anak yang menduduki peringkat satu dengan nilai-nilai menakjubkan. Inilah yang membuat kita buta, hingga tak mampu melihat proses kegiatan pendidikan sebagai suatu hal yang jauh lebih penting.

Istilah George Ritzer, tentang McDonalisasi dalam bukunya “McDonaldization of Society: An Investigation into the Changing Character of Contemporary Social Life” pada tahun 1995, yang bercerita tentang kesuksesan perusahaan McDonald ternyata juga membawa pengaruh terhadap kehidupan sosial. Seperti yang kita tahu, bahwa McDonald adalah pelopor pendiri restoran berbasis cepat saji di dunia, yang membawa kita pada konsep membeli makanan hanya sekedar untuk memenuhi hasrat lapar, hingga kita sendiri yang menghampiri makanan yang kita pesan. Padahal, konsep tersebut banyak mendapat kritikan, seperti dehumanisasi karena makanan cepat saji ternyata mengandung gizi buruk dan tak baik untuk manusia.

Bila kita amati, sistem pendidikan di Indonesia seperti dibuat dengan resep praktis dan seefisien mungkin, semacam McDonaldisasi tersebut. Praktis, karena pemerintah hanya mengeluarkan surat keputusan berlabel “LULUS” pada ijazah dengan standar nilai yang telah ditentukan, serta efisien karena waktu yang dibutuhkan relative singkat, yakni seminggu, untuk menentukan riwayat akhir dari proses pendidikan yang telah berlangsung bertahun-tahun. Seperti halnya pendidikan yang sedang berlangsung di Indonesia, tak disadari semakin mirip dengan McDonald, yang hanya mengandalkan pada kepraktisan dan efisiensi tanpa memikirkan efek negatif yang perlu untuk diberikan solusi. Maka jangan heran, jika sistem pendidikan di Indonesia yang hanya mengutamakan cepat saji, tanpa memerhatikan kualitas telah menyebabkan angka pengangguran terdidik menjadi persoalan ketenagakerjaan saat ini.

Data di BPS tahun 2011, juga menyatakan bahwa pengangguran terdidik menduduki peringkat teratas dari sekian jenis pengangguran di Indonesia. Walau, pengangguran terdidik tidak selalu menandakan kemiskinan, namun hal tersebut tetap menambah angka pengangguran yang ada. Inilah yang perlu kita kritisi, apakah memang sistem pendidikan dibuat hanya untuk menghasilkan lulusan “terdidik” miskin pengetahuan?

Ijazah yang sepatutnya dibanggakan, terkadang tak bernilai jika kita dihadapkan pada era global saat ini, di mana kualitas perfoma, pengetahuan, dan otak menjadi hal yang utama dibandingkan pampangan angka di ijazah. Bagaimana membuat pendidikan lebih menghasilkan manusia bermutu adalah tugas kita semua. Akan tetapi, pihak guru adalah komponen utama dalam menyadarkan semua peserta didik untuk paham bahwa bekal hidup tak cukup dengan mengantongi ijazah saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar