Jumat, 17 Februari 2012

Asu, Bajingan, Fuck, Jancok, dan Segala Pisuhan

http://www.freeimages.com/photo/106244

Fuck!
Umpatan, makian, kata kasar, dan segala macam kata tak senonoh dalam percakapan manusia adalah ungkapan percikan emosi yang tergambar secara lesan.

Asu!
Segala macam emosi yang tersalur dalam kata-kata kasar atau tak senonoh, sangat beragam bentuk dan istilahnya. Bahkan di beberapa tempat, makian sering menimbulkan dualisme pemaknaan. Sebut saja di daerah Jember dan di beberapa daerah di Jawa Timur, memaki dengan kata-kata seperti jancuk (bersenggama), sering diartikan sebagai suatu bentuk keakraban yang terjalin di antara hubungan manusia (seperti teman).

Bajingan!
Gagasan tentang umpatan ini, adalah gagasan segar yang muncul dari seorang teman. Dia berpendapat bahwasanya umpatan sangat dekat dengan kehidupan kita. Walaupun beberapa orang mungkin akan munafik, dan sentiment dengan umpatan, tapi toh mereka pasti pernah mengumpat, meski sekali seumur hidupnya.


Damn!
Saking banyaknya istilah, makian adalah perkataan yang harus diwajarkan atau dimaklumi karena memang di seluruh dunia, ada makian yang terucap. Dari belahan dunia yang luas ini, Indonesia adalah negara dengan macam makian terbanyak (sepertinya), karena indoensia memiiki bahasa daerah dengan bermacam dialek tak terhitung.

Bitch!
Umpatan yang umum diucap para bule yang tinggal di daratan Eropa maupun Amerika (berbahasa british) tak selalu berarti makian atau umpatan itu sendiri. ada arti penekanan (seperti: fucking cool; yang tentu artinya bukan bersenggama di kedinginan, akan tetapi berarti sesuatu yang amat keren).

Jancok!
Menilik bagaimana kata-kata tak senonoh muncul, bisa dirunut dari sesuatu yang ada disekitar kita. Sesuatu yang dianggap tak sopan, tak bermoral, dan segala macam hal yang bersifat negatif. Bahkan hewan, menjadi sasaran bahan kata tak senonoh untuk menyamakan seseorang yang dimaki dengan hewan yang disebut. Sebutan hewan untuk seseorang yang dimaki, biasanya mengacu pada binatang-binatang yang entah mengapa dipilih untuk mengupat seseorang. Sebut saja anjing (asu), bajing, babi hutan (celeng), dan hewan-hewan lain. Bila kita telaah, hewan-hewan tersebut muncul begitu saja dalam kamus makian. Mungkin si pemaki ingin menyamakan sikap atau sifat dari seseorang yang dia maki dengan hewan yang ia sebut. Walaupun hewan yang dimaksudkan untuk mengumpat orang, tidaklah sama sifatnya, akan tetapi ada kepuasan tersendiri.

Jalang!
Tak sebatas pada hewan, profesipun tak lepas dari umpatan. Profesi yang dianggap rendah dalam masyarakat, biasanya dipakai untuk merendahkan (memaki) orang. Seperti keple (pelacur), babu, dan masih ada beberapa nama profesi lain yang bisa merujuk pada makian.

Cuk!
Pada dasarnya, makian tak lebih dari luapan perasaan dan emosi. Akan tetapi, jika ada pertanyaan, mengapa makian lebih terkait dengan perkataan kasar yang tak sopan dan bahkan mungkin tak bermoral, hingga saat ini masih belum ditemukan (oleh penulis). Mungkin secara psikologis, ketika ada seseorang yang sedang meluapkan emosinya, mereka akan meneriaki sesuatu yang membuatnya puas. Puas karena telah mengutuki sesuatu yang terjadi.
Kajian tentang makian sangat menjanjikan untuk dibahas di berbagai disiplin ilmu. Dan untuk menganalisis kemunculan kata-kata makian, tentu bisa didedah melalui kaca mata linguistik. Ilmu-ilmu yang dapat menjadi pisau analisis untuk makian diantaranya; sosiologi terkait dengan pandangan masyarakat tentang makian, psokologis untuk mengetahui alasan emosional, bahasa, etnografi, geografi, dan disiplin ilmu lain.

Tai!
Cacian yang tercibir dari mulut seseorang, kadangkala juga tak memiliki arti atau makna. Brengsek, secara harfiah bahasa, tak memiliki arti apapun. Entah itu binatang, profesi, atau kegiatan-kegiatan negatif lain. Akan tetapi, orang-orang menyamakan kata brengsek sepermaknaan dengan bajingan. Kata dapurmu (dalam bahasa Jawa Tengah dikenal dengan “Raimu” yang berarti wajahmu), juga tak memiliki keharfiahan negatif. Dapurmu atau mukamu, adalah kata benda untuk bagian anggota tubuh, yang mana anggota tubuh tersebut juga bukan anggota tubuh yang tabu untuk disebut. Tabu seperti kita berbicara penis (kontol), vagina (memek), atau payudara (tetek). Mukamu tak memiliki esensi yang kotor, namun tetap bisa menjadi bahan untuk memaki seseorang.

Kontolmu!
Kehalusan suatu tutur kata di setiap daerah berbeda. Ini merujuk pada custom (adat) yang berlaku di masyarakat tersebut. Adatlah yang mengatur tentang pantas tidaknya sesuatu untuk dilakukan. Hampir di seluruh daerah di Indonesia, memaki (misuh) adalah hal yang tak diperkenankan. Namun demikian, makian yang seolah menjadi kebutuhan bagi manusia, mempunyai kadar berbeda. Sebut saja kata bajingan dan brengsek. Ada yang menyebutkan, bajingan jauh lebih kasar daripada brengsek, karena brengsek sesungguhnya kata yang tak berarti apapun (seperti penjelasan sebelumnya). Atau kata-kata lain yang mempunyai perbandingan berbeda di setiap daerah atau tempat.

Bersambung..
(note ini disarikan dari obrolan dengan kawan prima [sebagai penggagas ide makian] bersama kawan-kawan Ekspresi, tentang umpatan atau makian serta cacian yang berkembang di masyarakat Indonesia. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah; apakah makian tergantung pada tingkat pendidikan seseorang. Hal ini sangat mungkin menjadi penanda ketika ada ungkapan, bahwa makian selalu identik dengan orang-orang terminal [istilah untuk mengatakan orang-orang yang tak berpendidikan]. Namun demikian, asumsi awal yang dibangun oleh kawan-kawan Ekspresi adalah makian, tak ada hubungannya dengan tingkat pendidikan seseorang. Asumsi ini setidaknya cukup konsisten bila dikorelasikan dengan disiplin ilmu psikologi, bahwa memaki lebih pada kebutuhan seseorang akan emosi).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar